Karawang – Kalau ngomongin teknologi di kampus, orang-orang biasanya langsung mikir yang canggih-canggih: kecerdasan buatan, big data, metaverse, atau robot yang bisa bikin kopi. Padahal, buat mahasiswa sehari-hari, teknologi penyelamat hidup justru nggak secanggih itu. Ia lebih sederhana, lebih nyata, dan lebih dekat dengan penderitaan mahasiswa seperti printer, mesin fotokopi, proyektor, papan tulis, headset, flashdisk, sampai stopkontak.
Coba bayangin, deadline tugas tinggal setengah jam lagi. File udah kelar, tinggal cetak. Tapi printer di kos lagi error, tinta bocor, atau kertas habis. Di situlah printer kampus atau abang fotokopian jadi malaikat penyelamat. Banyak kisah heroik mahasiswa yang rela lari kencang ke tukang fotokopi jam tujuh pagi, demi satu bundel tugas yang harus dikumpul jam delapan. Katanya, “deadline” itu akronim dari detik-detik menuju line fotokopian.
Lalu ada proyektor. Alat ini sering dianggap remeh, padahal kalau dia mogok, suasana kelas bisa mendadak berubah jadi kelas zaman batu. Bayangin dosen harus ngejelasin sistem jaringan komputer tanpa slide, cuma modal lisan. Mahasiswa pun cuma bisa melamun sambil pura-pura nyatet. Proyektor itu ibarat panggungnya mahasiswa: dari presentasi kelompok, debat kusir, sampai video kocak yang salah pencet malah kebuka di depan kelas.
Papan tulis juga nggak bisa disepelekan. Entah yang whiteboard modern atau papan kapur klasik, coretan di situ sering jadi lebih sakral dari kitab suci. Dari rumus matematika yang bikin pusing, diagram alur program, sampai sketsa desain yang nggak jelas bentuknya, papan tulis punya cara unik bikin otak mahasiswa mikir, “Oh, ternyata gitu, ya.” Walau kadang yang dicoret dosen lebih mirip abstrak ketimbang diagram alur.
Terus headset. Perangkat kecil yang sering dicap sepele, tapi perannya gede banget. Buat mahasiswa yang ngekos di pinggir jalan raya, headset bisa jadi perisai dari kebisingan klakson dan motor knalpot brong. Buat yang sering ikut kelas daring, headset adalah jalan ninjanya biar tetap fokus meski sekamar sama teman kos yang sibuk karaokean. Kadang, suara dosen di Zoom cuma bisa bersaing dengan suara pedagang cilok kalau tanpa headset.
Jangan lupa flashdisk dan hard disk eksternal. Meski dunia udah berbondong-bondong pindah ke cloud, mahasiswa tahu betul: sinyal Wi-Fi kadang lebih angin-anginan daripada perasaan gebetan. Jadi punya penyimpanan fisik masih jadi pilihan realistis. Apalagi kalau pas bawa file presentasi ke kelas, colok flashdisk, dan langsung kebuka folder “film pribadi.” Nah, itu baru drama.
Dan akhirnya, sang pahlawan paling underrated jatuh kepada stopkontak. Si kecil yang jadi rebutan di perpustakaan, ruang kelas, bahkan kantin. Mahasiswa bisa rela duduk lesehan di pojok ruangan demi dapet colokan, ketimbang duduk manis di kursi tanpa daya listrik. Kabel ekstensi? Itu udah kayak harta karun. Kalau ada yang bawa, dia otomatis jadi ketua kelas nggak resmi.
Lucunya, semua perangkat ini sering dipandang sebelah mata. Orang lebih sibuk ngomongin AI, padahal tanpa printer, headset, dan stopkontak, kehidupan mahasiswa bisa lebih kacau dari drama sinetron 700 episode.
Hasan Basri, Kepala Kampus Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) kampus Karawang, juga menekankan hal yang sama. Katanya, “Teknologi sederhana ini jangan dianggap remeh. Justru dari alat-alat kecil seperti printer, proyektor, sampai stopkontak, mahasiswa bisa belajar disiplin, manajemen waktu, dan bagaimana menghadapi masalah nyata. Itu juga bagian penting dari pendidikan.”
Pada akhirnya, teknologi sederhana ini mengajarkan kita satu hal, yaitu kemajuan nggak selalu diukur dari kecanggihan, tapi dari seberapa besar dia menolong di saat genting. AI mungkin bisa bikin esai 10 halaman dalam lima menit, tapi printer tetap yang bikin esai itu sah masuk ke meja dosen.
Jadi, kalau ketemu printer kampus yang masih bisa nyetak dengan tinta belepotan, atau nemu colokan kosong di kelas, jangan anggap remeh. Hargai mereka, karena tanpa pahlawan kecil ini, perjalanan akademik mahasiswa mungkin cuma berhenti jadi draft di laptop.